Minggu, 31 Maret 2013

Teh Cap Botol [1940], Bisnis keluarga yang tetap subur hingga generasi ketiga. Cerdas mengantisipasi pasar di tengah persaingan yang kian ketat.



RIBUAN botol plastik hijau itu bergerak dalam irama teratur di atas jalur roda berjalan. Lalu, plop, plop, plop: letupan mesin memasangkan plastik kemasan ke satu per satu botol yang berisi teh amat panas. Antrean lantas menjalar ke mesin berikut yang memasangkan tutup botol. Dari sini jalur roda bergerak lagi menuju pengemasan akhir. Maka jadilah teh botol merek Joy Tea Green, yang siap dikirim ke jutaan konsumen di seluruh Indonesia serta mancanegara.

Ilustrasi kecil di atas melukiskan satu rantai kecil di lini produksi PT Sinar Sosro, raksasa teh siap minum buatan Indonesia. Satu ikon Sosro yang luas dikenal adalah Teh Botol Sosro. Joy Tea Green, yang dirilis dua tahun lalu, pun telah menjadi salah satu produk unggulan Sinar Sosro. ”Sudah punya pasar sendiri,” ujar Joseph Soewito Sosrodjojo.

Joseph, 43 tahun, adalah generasi ketiga Sosrodjojo—kini Presiden Direktur PT Sinar Sosro. Dia menerima Tempo di pabrik teh Sosro di Jalan Cakung, Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis, 10 September lalu. Joseph menuturkan ihwal kakeknya, Sosrodjojo, yang membangun cikalbakal minuman ini di Slawi, Jawa Tengah, pada 1940. Juga tentang jatuh-bangunnya usaha keluarga mereka.

Kini, dalam usia hampir tujuh dekade, Sinar Sosro tampaknya kian bersinar. Varian produknya tumbuh dari minuman teh seperti STee, Fruit Tea, TEBS, Joy Tea Green, dan merambah ke produk minuman non-teh, umpamanya air mineral Prim-A, Happy Jus, dan Country Choice. Menurut Joseph, mereka berupaya mengeksplorasi tren minuman untuk tiap generasi—sebagai salah satu strategi bisnis. ”Ketika penggemar teh rasa buah muncul, kami meresponsnya dengan Fruit Tea mulai 1997,” tuturnya. Tapi tulang punggung perusahaan tetaplah Teh Botol Sosro—keputusan yang bukan tanpa alasan.

Riset media Nielsen mencatat, Teh Botol Sosro menguasai 70 persen pasar minuman nasional. ”Angka ini stabil sejak lima tahun lalu,” kata Joseph. Direktur Riset Jasa Retail Nielsen, Yongky Surya Susilo, menyebutkan bahwa pasar teh siap minum nasional selama Januari-September tahun lalu mencapai Rp 17,14 miliar, atau tumbuh 27,7 persen dibanding periode yang sama pada 2007. Indikasi lain adalah belanja iklan produk teh. Selama Januari-Juli 2009, iklan produk teh mencapai Rp 52,1 miliar, naik 52 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Omzet penjualan Sinar Sosro pada periode 2008 mencapai Rp 1,8 triliun—Rp 9 miliar berasal dari nilai ekspor. Sosro memang bertahan memimpin pasar di tengah persaingan ketat. Posisi Teh Botol Sosro yang terus bertahan di peringkat pertama penjualan tak bisa dipisahkan dari fi losofi produk Sosro, yaitu Niat Baik.

Sosrodjojo melahirkan fi losofi ini dengan tujuan menghasilkan minuman yang aman bagi kesehatan serta ramah lingkungan. Seluruh produk Sosro tak memakai zat pewarna, bahan pengawet, serta pemanis buatan. Hanya gula pasir dan daun teh hijau hasil racikan PT Gunung Slamat—anak usaha Holding Rekso yang berfokus pada lini produksi teh kering siap saji—dari perkebunan Cianjur, Garut, Pangalengan, dan Tasikmalaya.

Soegiharto Sosrodjojo, ayah Joseph, hingga kini masih turun tangan menguji racikan daun teh di Slawi. Ketatnya uji mutu itu untuk memastikan rasa Teh Botol Sosro—muncul pertama pada 1974—tak berubah. Jaringan distribusi
adalah kekuatan lain Sinar Sosro. Kini seluruh pelosok Indonesia akrab dengan Teh Botol Sosro. Ketua Asosiasi Minuman Ringan Suroso Natakusumah menilai masifnya jaringan Sosro hingga ke pelosok daerah membuat Teh Botol Sosro sulit tersaingi. Harga adalah faktor berikutnya. ”Orang tua dan om-om saya bilang, jual teh jangan lebih mahal dari ongkos parkir. Harga segitu yang dapat dijangkau konsumen,” kata Joseph. Dia menambahkan, kini target mereka lebih mengoptimalkan kapasitas produksi pabrik ketimbang memperluas pasar domestik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar